Kamis, 14 April 2011

Asal Usul Bali Terunyan


Filed under: Asal Usul — po3tra78 @ 12:38 pm
Tags:

Nama dari Desa Terunyan berasal dari kata “Taru dan Menyan”, pohon berbau harum yang tumbuh di desa itu, orang-orang disana percaya bahwa pohon itu sangat penting. Mayat orang yang meninggal diletakkan di atas kuburan terbuka di bawah pohon tersebut dengan wajah terbuka dengan hanya memakai kain putih dan “ancak saji”. Cara penguburan ini disebut “Mepasah”.
Desa Terunyan sebagai bagian dari kecamatan Kintamani terletak di tepi Danau Batur atau di Kaki sebelah Barat dai Gunung Abang. Penduduk desa ini adalah keturunan asli bali Age. Dengan aspek kebudayaan yang unik, desa ini dapat dicapai dengan boat dari desa Kedisan, menyeberangi Danau Batur selama ± 30 menit.
Kabut tipis membalut bagian-bagian atas lembah di sisi timur danau. Cahaya yang menyilaukan dari kejauhan berangsur jadi pemandangan dusun yang sunyi saat perahu merapat ke Terunyan.
“Selamat datang di Desa Terunyan,” ujar seorang laki-laki setengah baya. Ia menarik dan menambatkan perahu yang kami tumpangi, sekaligus menempatkan papan kayu sebagai pijakan kaki untuk menapak daratan.

Suasana khas desa itu langsung tercium. Khas karena apa yang tersaji di depan mata kala itu pantaslah disebut antitesis dari suasana Bali bagian selatan, seperti Denpasar, Kuta, dan Kabupaten Badung, yang sibuk, padat, dan tergesa-gesa. Sementara wilayah terpencil di Kintamani, Kabupaten Bangli, itu terlihat tenang, lapang, dan santai.
Pantulan cahaya yang kelihatan semula adalah atap-atap rumah warga Terunyan yang terbuat dari seng. Perahu-perahu motor dan jukung tertambat di depan danau. Kaum laki-laki duduk-duduk, kaum perempuan mencuci pakaian, ditemani sejumlah anak yang berenang di bagian pinggir danau. Lelaki itu mengantar menemui Perbekel (Kepala Desa) Terunyan Ketut Sutapa (42).

Orang Terunyan biasa disebut orang Bali Aga, Bali Mula, atau Bali Turunan. Bali Aga berarti orang Bali Pegunungan, Bali Mula berarti Bali Asli. Nama Bali Aga diperoleh dari penduduk Bali lainnya, yang menyebut diri Bali Hindu yang merupakan penduduk mayoritas di Pulau Bali. Bali Hindu adalah entitas kaum yang terkena pengaruh kebudayaan Jawa Majapahit.
Namun, warga setempat lebih suka dengan sebutan Bali Turunan karena mereka percaya leluhur mereka ”turun” dari langit ke Bumi Terunyan.

Sebuah mitos (dongeng suci) tentang asal-usul penduduk Terunyan menguatkan kepercayaan itu. Seperti dituturkan oleh Sutapa, leluhur perempuan mereka adalah seorang dewi yang turun ke desa itu. Rahim dewi ini dibuahi oleh Sang Surya hingga melahirkan anak kembar, salah satunya perempuan. ”Anak perempuan itu lalu kawin dengan seorang putra Raja Jawa (disebut Putra Dalem Solo). Raja itu datang ke Terunyan karena tertarik dengan bau harum yang dipancarkan sebatang pohon menyan yang tumbuh di desa ini. Dari dua insan itulah warga Terunyan berasal,” kata Sutapa.
 
Desa Terunyan di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, terletak di lembah perbukitan di pinggir Danau Batur, Desa itu merupakan salah satu desa tua di Pulau Bali.
Mitos itulah yang menerangkan asal-usul nama desa itu, sekaligus inti kepercayaan masyarakat Terunyan (Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali, Danandjaja, 1980).
Perihal keberadaan desa itu, para arkeolog memperkirakan Terunyan sudah ada sejak abad X Masehi. Dari prasasti Trunyan AI, misalnya, terekam adanya tulisan tahun 833 Saka yang menerangkan izin pembangunan satu kuil untuk Batara Da Tonta yang tidak lain adalah Ratu Sakti Pancering Jagat. Di Pura Terunyan, Ratu Sakti Pancering Jagat berupa batu raksasa setinggi sekitar 4 meter. Menurut arkeolog R Goris, batu itu adalah hasil seni patung gaya megalitik.

Pura Ulun Danau Batur

Danandjaja juga menyebut sejumlah alat batu paleolitik, seperti kapak perimbas, proto kapak genggam, kapak berimbas berpuncak, dan kapak berimbas pipih, dan itu semua pernah ditemukan ahli ilmu prasejarah RP Soejono sewaktu ia menjabat Kepala Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional Cabang II Bedulu, Gianyar, Bali, tahun 1970-an. RP Soejono memperkirakan artefak berasal dari zaman Pleistosen Bawah (kira-kira 300.000 tahun lalu).
Dari sisi kehidupan religi, religiositas warga Terunyan dapatlah disebut sebagai sebuah versi berbeda dari Hindu pada umumnya di Bali. Dari luar memang terlihat adanya tata cara Hindu Bali, mulai dari bentuk pura. Namun, dewa yang dipuja adalah dewa-dewa asli Terunyan, terutama Ratu Sakti Pancering Jagat dan Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar. Warga Terunyan tak mengenal dewa-dewa yang berasal dari Hindu India, seperti Syiwa, Wishnu, dan Brahma.
Seperti diungkapkan Sutapa, ritual-ritual keagamaan di Terunyan berbeda dengan penganut Hindu di Bali. Salah satu contoh adalah ritual Nyepi. ”Pada hari Nyepi kami beraktivitas seperti biasa, memasak, bercengkerama, juga menyalakan listrik atau lampu,” kata Sutapa.
Ketika Nyepi malam hari, lampu-lampu penerangan warga Terunyan yang terletak di lembah timur Gunung Batur bak kunang-kunang yang berkedip jika dilihat dari Penelokan, sisi selatan Batur. Sebab, hampir seluruh Bali saat itu praktis tanpa penerangan.
Dari sekian pandangan, cara hidup, hingga ritual yang dilakukan warga Terunyan, cara pemakaman warga yang meninggal boleh dikatakan paling diingat orang tentang desa itu.
Warga setempat tidak mengebumikan atau membakar anggota komunitasnya yang meninggal dunia, tapi meletakkannya saja di atas tanah, di bawah udara terbuka. Adat pemakaman ini disebut mepasah. Ada tiga jenis pemakaman: sema wayah (bagi warga yang menikah dan meninggal secara wajar), sema nguda (untuk warga yang masih bujangan dan meninggal wajar), dan sema bantas (tempat pemakaman bagi mereka yang meninggal tidak wajar/salah pati). Sema bantas adalah mengubur jasad.
Cara pemakaman itu menjadi daya tarik bagi turis yang luar biasa sejak era 1970-an. Menurut salah satu pemandu wisata di Terunyan, Nengah Kama (34), desa itu pernah dikunjungi 1.000 turis dalam sehari.
Terdapat sembilan jasad yang diletakkan di sema wayah. Sebuah pohon kemenyan raksasa melingkupi pemakaman itu. Salah satu jasad masih berumur 20 hari. Mereka diletakkan dengan ditutupi kain kafan putih, ditutupi dengan tatanan irisan bambu. Tidak ada bau menyengat di area makam itu.
Danandjaja menyebut tradisi mepasah merupakan tradisi pra-Hindu, ditemukan di desa Bali Aga lain di Bali, seperti Sembiran di Kabupaten Buleleng dan Tenganan (Karangasem). Sejarawan Soekmono mencatat, tradisi itu pernah hidup di Prambanan (perbatasan DI Yogyakarta dan Jawa Tengah sekarang) sebelum abad XIX.

Masyarakat Terunyan tak ingin disebut primitif, tapi lapang dada jika dibilang konservatif. Dan, tanpa lelah mereka berusaha mempertahankan entitas dan tradisi Bali Turunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar